Agama dan Dharma
Kata "agama" yang dipergunakan oleh umat Hindu
dalam hidup berketuhanan Yang Maha Esa berasal dari bahasa Sanskerta dari
akar kata "gam" yang artinya "pergi" atau
"perjalanan". Urat kata "gam" ini mendapat
prefix "a" yang berarti "tidak" dan
tambahan "a" di belakang yang berarti "sesuatu"
atau dapat berfungsi sebagai suffix dalam bahasa Sanskerta guna
mengubah kata kerja menjadi kata sifat. Dengan demikian kata agama diartikan
"sesuatu yang tidak pergi", tidak berubah atau tetap, langgeng
(abadi). Yang tidak pernah berubah- ubah atau kekal abadi itu hanyalah Tuhan
beserta ajarannya. Sebagai suatu istilah kemudian kata agama mengandung suatu
pengertian aturan- aturan atau ajaran- ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang
Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa) diturunkan berupa wahyu (Sruti)
melalui para Nabi (Maha Resi) untuk mengatur alam semesta beserta
isinya baik dalam kehidupan rohaniah maupun dalam kehidupan jasmaniah.
|
||||||
Kata "Dharma" berasal dari bahasa Sanskerta dari
akar kata "dhr" (baca: dri) yang artinya menjinjing, memangku,
memelihara, mengatur, atau menuntun. Akar kata "dhr" ini kemudian
berkembang menjadi kata dharma yang mengandung arti hukum yang mengatur dan
memelihara alam semesta beserta segala isinya. Dalam hubungan dengan
peredaran alam semesta, kata dharma dapat pula berarti kodrat. Sedangkan
dalam kehidupan manusia, dharma dapat berarti ajaran, kewajiban atau
peraturan- peraturan suci yang memelihara dan menuntun manusia untuk mencapai
kesempurnaan hidup yaitu tingkah laku dan budi pekerti yang luhur.
|
||||||
Istilah Hindu yang dipergunakan sekarang sebagai nama
agama pada umumnya tidak dikenal pada jaman klasik. Beratus- ratus tahun
sebelum tahun masehi, penganut ajaran kitab suci Weda tumbuh subur dan
berkembang pesat dalam masyarakat, sehingga para ahli menyebutkannya dengan
nama agama Weda atau Jaman Weda.
Kemudian Hindu dipakai nama dengan mengambil nama tempat
di mana agama itu mulai berkembang, yakni di sekitar sungai Sindu atau
Indus. Kata Sindu inilah yang kemudian berubah menjadi kata Hindu
karena terkena pengaruh hukum metathesis dalam bahasa Sanskerta di
mana penggunaan huruf "s" dan "h" dapat
ditukar- tukar, misalnya kata "Soma" dapat menjadi kata Homa,
kata "Satima" dapat menjadi Hatima, dan sebagainya.
Kata Hindu atau Sindu dalam bahasa Sanskerta adalah tergolong kata benda masculine, yang berarti titik- titik air, sungai, laut, atau samudra. Air melambangkan Amrita yang diartikan air kehidupan yang kekal abadi, dipergunakan dalam upacara- upacara agama Hindu dalam bentuk tirtha (air suci). Istilah agama dengan istilah dharma mempunyai pengertian yang sulit dibedakan, maka dalam kaitannya dengan nama agama Hindu biasa juga disebut Hindu Dharma, bahkan di India lebih umum nama ini dipakai. |
||||||
Di dalam kitab suci Weda dijelaskan tujuan agama sebagai
tercantum dalam sloka "MOKSARTHAM JAGADHITA YA CA ITI DHARMAH"
yang artinya bahwa tujuan agama atau dharma adalah untuk mencapai jagadhita
dan moksa. Moksa juga disebut Mukti artinya mencapai
kebebasan jiwatman atau juga disebut mencapai kebahagiaan rohani yang
langgeng di akhirat. Jagadhita juga disebut bhukti yaitu kemakmuran dan
kebahagiaan setiap orang, masyarakat, maupun negara.
Jadi secara garis besar tujuan agama Hindu adalah untuk mengantarkan umatnya dalam mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini maupun mencapai moksa yaitu kebahagiaan di akhirat kelak. |
|
||||||||||||
Kitab Suci dan Maha Resi
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kitab Suci
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Kitab suci agama Hindu disebut Weda.
Adapun kata Weda ini berasal dari bahasa Sanskerta dari akar kata "Wid"
berkembang menjadi kata WEDA atau WIDYA yang berarti
pengetahuan. Sebagai kitab suci kata Weda mengandung pengertian himpunan ilmu
pengetahuan suci yang bersumber dari Sang Hyang Widhi Wasa diterima atau
didengar oleh para Maha Resi dalam keadaan samadhi. Oleh karena itu disebut
juga Sruti yang berarti Sabda suci yang didengar (wahyu).
Jadi Weda merupakan himpunan wahyu- wahyu Tuhan.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Resi / Maha Resi
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Avatara
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Sejarah dan Perkembangannya
|
|
1. Awal Perkembangan Agama Hindu
|
|
Agama Hindu berasal dari India.
Untuk mengetahui sejarah perkembangannya haruslah juga dipelajari sejarah perkembangan
India meliputi aspek perkembangan penduduk maupun aspek kebudayaannya dari
jaman ke jaman. Berdasarkan penelitian usia kitab- kitab Weda, para ahli
sampai pada suatu kesimpulan bahwa agama Hindu telah tumbuh dan berkembang
pada sekitar 6.000 tahun sebelum tahun Masehi. Sebagai agama tertua, agama
Hindu kemudian berkembang ke berbagai wilayah dunia, termasuk Asia Tenggara
dan Indonesia.
|
|
2. Penduduk India
|
|
Penduduk asli yang mendiami India
sekarang bermukim di daerah dataran tinggi Dekkan. Kehidupannya masih sangat
sederhana.
Bangsa Dravida berasal dari daerah Asia Tengah (Baltic) masuk ke India dan mendiami daerah sepanjang sungai Sindhu yang subur. Kebudayaan mereka lebih tinggi dari penduduk asli. Bangsa Arya juga berasal dari daerah sekitar Asia Tengah, menyebar memasuki daerah- daerah Iran (Persia), Mesopotamia, dan juga masuk ke daerah Eropa. Yang sampai masuk ke India adalah merupakan bagian dari yang pernah masuk ke Iran. Mereka masuk ke India dalam dua tahap di dua tempat yang berbeda. Pertama mereka masuk di daerah Punjab yaitu daerah lima aliran anak sungai yang disambut dengan peperangan oleh bangsa Dravida yang sudah lebih dulu bermukim di sana. Karena bangsa Arya lebih maju dan lebih kuat, Bangsa Dravida dapat dikalahkan. Tahap kedua Bangsa Arya masuk ke India melalui daerah dua aliran sungai yaitu lembah sungai Gangga dan lembah sungai Yamuna, daerah ini dikenal dengan nama daerah Doab. Kedatangan mereka tidak disambut peperangan, bahkan kemudian terjadi percampuran melalui perkawinan. Bangsa- bangsa inilah yang menjadi nenek moyang bangsa India sekarang. |
|
3. Jaman Weda
|
|
Telah diketahui bahwa bangsa yang
datang kemudian di India adalah bangsa Arya yang mendiami dua tempat yaitu di
Punjab dan Doab. Di kedua daerah tersebut mereka berkembang dan mengembangkan
peradabannya. Dikatakan bahwa orang- orang Aryalah yang menerima wahyu Weda.
Wahyu- wahyu Weda ini tidak turun sekaligus, melainkan dalam jangka waktu
yang agak lama, dan juga tidak diwahyukan di satu tempat saja. Penerima wahyu
disebut Maha Resi, diterima melalui pendengaran, dan oleh sebab itu wahyu
Weda disebut Sruti (sru= pendengaran). Kurun waktu turunnya wahyu- wahyu Weda
itulah yang disebut jaman Weda dan ajaran Weda inilah yang kemudian tersebar
ke berbagai penjuru dunia.
|
|
4. Penyebaran Agama Hindu
|
|
Dalam suatu penggalian di Mesir
ditemukan sebuah inskripsi yang diketahui berangka tahun 1200 SM. Isinya
adalah perjanjian antara Ramses II dengan Hittites. Dalam perjanjian ini
"Maitra Waruna" yaitu gelar manifestasi Sang Hyang Widhi Wasa
menurut agama Hindu yang disebut- sebut dalam Weda dianggap sebagai saksi.
Gurun Sahara yang terdapat di Afrika Utara menurut penelitian Geologi adalah bekas lautan yang sudah mengering. Dalam bahasa Sanskerta Sagara artinya laut; dan nama Sahara adalah perkembangan dari kata Sagara. Diketahui pula bahwa penduduk yang hidup di sekelilingnya pada jaman dahulu berhubungan erat dengan Raja Kosala yang beragama Hindu dari India. Penduduk asli Mexico mengenal dan merayakan hari raya Rama Sinta, yang bertepatan dengan perayaan Nawa Ratri di India. Dari hasil penggalian di daerah itu didapatkan patung- patung Ganesa yang erat hubungannya dengan agama Hindu. Di samping itu penduduk purba negeri tersebut adalah orang- orang Astika (Aztec), yaitu orang- orang yang meyakini ajaran- ajaran Weda. Kata Astika ini adalah istilah yang sangat dekat sekali hubungannya dengan "Aztec" yaitu nama penduduk asli daerah itu, sebagaimana dikenal namanya sekarang ini. Penduduk asli Peru mempunyai hari raya tahunan yang dirayakan pada saat- saat matahari berada pada jarak terjauh dari katulistiwa dan penduduk asli ini disebut Inca. Kata "Inca" berasal dari kata "Ina" dalam bahasa Sanskerta yang berarti "matahari" dan memang orang- orang Inca adalah pemuja Surya. Uraian tentang Aswameda Yadnya (korban kuda) dalam Purana yaitu salah satu Smrti Hindu menyatakan bahwa Raja Sagara terbakar menjadi abu oleh Resi Kapila. Putra- putra raja ini berusaha ke Patala loka (negeri di balik bumi= Amerika di balik India) dalam usaha korban kuda itu. Karena Maha Resi Kapila yang sedang bertapa di hutan (Aranya) terganggu, lalu marah dan membakar semua putra- putra raja Sagara sehingga menjadi abu. Pengertian Patala loka adalah negeri di balik India yaitu Amerika. Sedangkan nama Kapila Aranya dihubungkan dengan nama California dan di sana terdapat taman gunung abu (Ash Mountain Park). Di lingkungan suku- suku penduduk asli Australia ada suatu jenis tarian tertentu yang dilukiskan sebagai tarian Siwa (Siwa Dance). Tarian itu dibawakan oleh penari- penarinya dengan memakai tanda "Tri Kuta" atau tanda mata ketiga pada dahinya. Tanda- tanda yang sugestif ini jelas menunjukkan bahwa di negeri itu telah mengenal kebudayaan yang dibawa oleh agama Hindu. |
|
5. Agama Hindu di Indonesia
|
|
Agama Hindu masuk ke Indonesia
diperkirakan pada awal Tarikh Masehi, dibawa oleh para Musafir dari India
antara lain: Maha Resi Agastya yang di Jawa terkenal dengan sebutan Batara
Guru atau Dwipayana dan juga para Musafir dari Tiongkok yakni Musafir Budha
Pahyien. Kedua tokoh besar ini mengadakan perjalanan keliling Nusantara
menyebarkan Dharma. Bukti- bukti peninggalan ini sangat banyak berupa sisa-
sisa kerajaan Hindu seperti Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman
di Jawa Barat.
Kerajaan Kutai dengan rajanya Mulawarman di Kalimantan Timur, Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah dengan rajanya Sanjaya, Kerajaan Singosari dengan rajanya Kertanegara dan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur, begitu juga kerajaan Watu Renggong di Bali, Kerajaan Udayana, dan masih banyak lagi peninggalan Hindu tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Raja- raja Hindu ini dengan para alim ulamanya sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan agama, seni dan budaya, serta kesusasteraan pada masa itu. Sebagai contoh candi- candi yang bertebaran di Jawa di antaranya Candi Prambanan, Borobudur, Penataran, dan lain- lain, pura- pura di Bali dan Lombok, Yupa- yupa di Kalimantan, maupun arca- arca dan prasasti yang ditemukan hampir di seluruh Nusantara ini adalah bukti- bukti nyata sampai saat ini. Kesusasteraan Ramayana, Mahabarata, Arjuna Wiwaha, Sutasoma (karangan Empu Tantular yang di dalamnya terdapat sloka "Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa") adalah merupakan warisan- warisan yang sangat luhur bagi umat selanjutnya. Agama adalah sangat menentukan corak kehidupan masyarakat waktu itu maupun sistem pemerintahan yang berlaku; hal ini dapat dilihat pada sekelumit perkembangan kerajaan Majapahit. Raden Wijaya sebagai pendiri kerajaan Majapahit menerapkan sistem keagamaan secara dominan yang mewarnai kehidupan masyarakatnya. Sewaktu meninggal, oleh pewarisnya dibuatkan pedharman atau dicandikan pada candi Sumber Jati di Blitar Selatan sebagai Bhatara Siwa dan yang kedua didharmakan atau dicandikan pada candi Antapura di daerah Mojokerto sebagai Amoga Sidhi (Budha). Raja Jayanegara sebagai Raja Majapahit kedua setelah meninggal didharmakan atau dicandikan di Sila Petak sebagai Bhatara Wisnu sedangkan di Candi Sukalila sebagai Buddha. Maha Patih Gajah Mada adalah seorang Patih Majapahit sewaktu pemerintahan Tri Buana Tungga Dewi dan Hayam Wuruk. Ia adalah seorang patih yang sangat tekun dan bijaksana dalam menegakkan dharma, sehingga hal ini sangat berpengaruh dalam pemerintahan Sri Baginda. Semenjak itu raja Gayatri memerintahkan kepada putranya Hayam Wuruk supaya benar- benar melaksanakan upacara Sradha. Adapun upacara Sradha pada waktu itu yang paling terkenal adalah mendharmakan atau mencandikan para leluhur atau raja- raja yang telah meninggal dunia (amoring Acintya). Upacara ini disebut Sradha yang dilaksanakan dengan Dharma yang harinya pun telah dihitung sejak meninggal tiga hari, tujuh hari, dan seterusnya sampai seribu hari dan tiga ribu hari. Hal ini sampai sekarang di Jawa masih berjalan yang disebut dengan istilah Sradha, Sradangan yang pada akhirnya disebut Nyadran. Memperhatikan perkembangan agama Hindu yang mewarnai kebudayaan serta seni sastra di Indonesia di mana raja- rajanya sebagai pimpinan memperlakukan sama terhadap dua agama yang ada yakni Siwa dan Budha, jelas merupakan pengejawantahan toleransi beragama atau kerukunan antar agama yang dianut oleh rakyatnya dan berjalan sangat baik. Ini jelas merupakan nilai- nilai luhur yang diwariskan kepada umat beragama yang ada pada saat sekarang. Nilai- nilai luhur ini bukan hanya mewarnai pada waktu lampau, tetapi pada masa kini pun masih tetap merupakan nilai- nilai positif bagi pewaris- pewarisnya khususnya umat yang meyakini agama Hindu yang tertuang dalam ajaran agama dengan Panca Sradhanya. Kendatipun agama Hindu sudah masuk di Indonesia pada permulaan Tarikh Masehi dan berkembang dari pulau ke pulau namun pulau Bali baru mendapat perhatian mulai abad ke-8 oleh pendeta- pendeta Hindu di antaranya adalah Empu Markandeya yang berAsrama di wilayah Gunung Raung daerah Basuki Jawa Timur. Beliaulah yang memimpin ekspedisi pertama ke pulau Bali sebagai penyebar agama Hindu dengan membawa pengikut sebanyak ± 400 orang. Ekspedisi pertama ini mengalami kegagalan. Setelah persiapan matang ekspedisi kedua dilaksanakan dengan pengikut ± 2.000 orang dan akhirnya ekspedisi ini sukses dengan gemilang. Adapun hutan yang pertama dibuka adalah Taro di wilayah Payangan Gianyar dan beliau mendirikan sebuah pura tempat pemujaan di desa Taro. Pura ini diberi nama Pura Murwa yang berarti permulaan. Dari daerah ini beliau mengembangkan wilayah menuju pangkal gunung Agung di wilayah Besakih sekarang, dan menemukan mata air yang diberi nama Sindhya. Begitulah permulaan pemujaan Pura Besakih yang mula- mula disebut Pura Basuki. Dari sini beliau menyusuri wilayah makin ke timur sampai di Gunung Sraya wilayah Kabupaten Karangasem, selanjutnya beliau mendirikan tempat suci di sebuah Gunung Lempuyang dengan nama Pura Silawanayangsari, akhirnya beliau bermukim mengadakan Pasraman di wilayah Lempuyang dan oleh pengikutnya beliau diberi gelar Bhatara Geni Jaya Sakti. Ini adalah sebagai tonggak perkembangan agama Hindu di pulau Bali. Berdasarkan prasasti di Bukit Kintamani tahun 802 Saka (880 Masehi) dan prasasti Blanjong di desa Sanur tahun 836 Saka (914 Masehi) daerah Bali diperintah oleh raja- raja Warmadewa sebagai raja pertama bernama Kesariwarmadewa. Letak kerajaannya di daerah Pejeng dan ibukotanya bernama Singamandawa. Raja- raja berikutnya kurang terkenal, baru setelah raja keenam yang bernama Dharma Udayana dengan permaisurinya Mahendradata dari Jawa Timur dan didampingi oleh Pendeta Kerajaan Empu Kuturan yang juga menjabat sebagai Mahapatih maka kerajaan ini sangat terkenal, baik dalam hubungan politik, pemerintahan, agama, kebudayaan, sastra, dan irigasi semua dibangun. Mulai saat inilah dibangun Pura Kahyangan Tiga (Desa, Dalem, Puseh), Sad Kahyangan yaitu Pura Lempuyang, Besakih, Bukit Pangelengan, Uluwatu, Batukaru, Gua Lawah, Sistem irigasi yang terkenal dengan Subak, sistem kemasyarakatan, Sanggar/ Merajan, Kamulan/Kawitan dikembangkan dengan sangat baik. Sewaktu kerajaan Majapahit runtuh keadaan di Bali sangat tenang karena tidak ada pergolakan agama. Pada saat itulah datang seorang Empu dari Jawa yang bernama Empu Dwijendra dengan pengikutnya yang mengembangkan dan membawa pembaharuan agama Hindu di Bali. Dewasa ini, terutama sejak jaman Orde Baru, perkembangan Agama Hindu makin maju dan mulai mendapat perhatian serta pembinaan yang lebih teratur. |
Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu
|
Ajaran Agama Hindu dapat dibagi
menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga Kerangka Dasar", di
mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi dan merupakan satu
kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan agama
yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga Kerangka Dasar tersebut
adalah:
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar