Minggu, 16 Februari 2014

Pedoman Sembahyang



Kramaning Sembah
Sembahyang dilakukan umat untuk memuja Tuhan. Banyak macam sembahyang, ditinjau dari kapan dilakukannya, dengan cara apa, dengan sarana apa dan di mana serta dengan siapa melakukannya. Kemantapan hati dalam melakukan sembahyang, membantu komunikasi yang lancar dan pemuasan rohani yang tiada terhingga. Kemantapan hati itu hanya dapat kita peroleh apabila kita yakin bahwa cara sembahyang kita memang benar adanya, tahu makna yang terkandung dari setiap langkah dan cara.
Berikut ini adalah pedoman sembahyang yang telah ditetapkan oleh Mahasabha Parisada Hindu Dharma ke VI.

Persiapan sembahyang
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir meliputi sikap duduk yang baik, pengaturan nafas dan sikap tangan.
Termasuk dalam persiapan lahir pula ialah sarana penunjang sembahyang seperti pakaian, bunga dan dupa sedangkan persiapan batin ialah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang adalah sebagai berikut:
1. Asuci laksana
Pertama-tama orang membersihkan badan dengan mandi. Kebersihan badan dan kesejukan lahir mempengaruhi ketenangan hati 
2. Pakaian
Pakaian waktu sembahyang supaya diusahakan pakaian yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran. Pakaian yang ketat atau longgar, warna yang menyolok hendaknya dihindari. Pakaian harus disesuaikan dengan dresta setempat, supaya tidak menarik perhatian orang. Maksudnya agar tidak mengganggu konsentrasi semua pihak yang sama-sama bersembahyang. 
3. Bunga dan kawangen
Bunga dan kawangen adalah lambang kesucian, supaya diusahakan bunga yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen dapat diganti dengan bunga.
4. Dupa
Apinya dupa adalah simbul Sang Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Sang Hyang Widhi. Setiap yadnya dan pemujaan tidak luput dari penggunaan api. Hendaknya dupa ditaruh sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan teman-teman kita di sekitar kita. Selesai persembahyangan sebaiknya dupa dipadamkan dan dibuang di tempat yang disediakan.

5. Tempat Duduk
Tempat duduk hendaknya diusahakan tempat duduk yang tidak mengganggu ketenangan untuk sembahyang. Arah duduk ialah menghadap pelinggih. Setelah persembahyangan selesai usahakan berdiri dengan rapi dan sopan sehingga tidak mengganggu orang yang masih duduk sembahyang. Jika mungkin agar mempergunakan alas duduk seperti tikar dan sebagainya.

6. Sikap duduk
Sikap duduk dapat dipilih sesuai dengan tempat dan keadaan serta tidak mengganggu ketenangan hati. Sikap duduk yang baik untuk pria ialah sikap padmasana yaitu sikap duduk bersila dan badan tegak lurus. Sikap duduk bagi wanita ialah sikap bajrasana yaitu sikap duduk bersimpuh dengan dua tumit kaki diduduki. Dengan sikap ini badan menjadi tegak lurus. Kedua sikap ini sangat baik untuk menenangkan pikiran.

7. Sikap tangan
Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang ialah cakup ing kara kalih yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari.

Urut-urutan Sembahyang
Urutan-urutan sembah baik pada waktu sembahyang sendiri ataupun sembahyang bersama yang dipimpin oleh Sulinggih atau seorang Pemangku adalah seperti di bawah ini:

1. Sembah puyung (sembah dengan tangan kosong)
Mantram:
artinya:
Om atma tattvatma suddha mam svaha.
Om atma, atmanya kenyataan ini, bersihkanlah hamba.

2. Menyembah Sanghyang Widhi sebagai Sang Hyang Aditya
Mantram:
Artinya:
Om Aditisyaparamjyoti,
rakta teja namo'stute,
sveta pankaja madhyastha,
bhaskaraya namo'stute
Om, sinar surya yang maha hebat,
Engkau bersinar merah,
hormat padaMu, Engkau yang berada di tengah-tengah teratai putih,
Hormat padaMu pembuat sinar.
Sarana

3. Menyembah Tuhan sebagai Ista Dewata pada hari dan tempat persembahyangan
Ista Dewata artinya Dewata yang diingini hadirnya pada waktu pemuja memuja-Nya. Ista Dewata adalah perwujudan Tuhan dalam berbagai-bagai wujud-Nya seperti Brahma, Visnu, Isvara, Saraswati, Gana, dan sebagainya. Karena itu mantramnya bermacam-macam sesuai dengan Dewata yang dipuja pada hari dan tempat itu. Misalnya pada hari Saraswati yang dipuja ialah Dewi Saraswati dengan Saraswati Stawa. Pada hari lain dipuja Dewata yang lain dengan stawa-stawa yang lain pula.
Pada persembahyangan umum seperti pada persembahyangan hari Purnama dan Tilem, Dewata yang dipuja adalah Sang Hyang Siwa yang berada dimana-mana. Stawanya sebagai berikut:
Mantra
Artinya:
Om nama deva adhisthannaya,
sarva vyapi vai sivaya,
padmasana ekapratisthaya,
ardhanaresvaryai namo namah
Om, kepada Dewa yang bersemayam pada tempat yang tinggi,
kepada Siwa yang sesungguhnyalah berada dimana-mana,
kepada Dewa yang yang bersemayam pada tempat duduk bunga teratai sebagai satu tempat,
kepada Adhanaresvari, hamba menghormat
Sarana

4. Menyembah Tuhan sebagai Pemberi Anugrah
Mantra
Artinya:
Om anugraha manohara,
devadattanugrahaka,
arcanam sarvapujanam
namah sarvanugrahaka.
Deva devi mahasiddhi,
yajnanga nirmalatmaka,
laksmi siddhisca dirghayuh,
nirvighna sukha vrddhisca
Om, Engkau yang menarik hati, pemberi anugerah,
anugerah pemberian dewa,
pujaan semua pujaan, hormat pada-Mu pemberi semua anugerah.
Kemahasidian Dewa dan Dewi, berwujud yadnya, pribadi suci, kebahagiaan, kesempurnaan, panjang umur, bebas dari rintangan, kegembiraan dan kemajuan
Sarana

5. Sembah puyung (Sembah dengan tangan kosong)
Mantram:
artinya:
Om deva suksma paramacintyaya nama svaha
Om, hormat pada Dewa yang tak terpikirkan, yang maha tinggi, yang gaib.


Setelah persembahyangan selesai dilanjutkan dengan mohon tirta dan bija.

Tirtha
Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu. Pada umumnya tirtha itu diperoleh melalui dua cara, yaitu:
  1. Dengan cara memohon di hadapan palinggih Ida Bhatara melalui upacara tertentu. Tirtha yang diperoleh dengan cara ini pada umumnya disebut orang tirtha wangsuh pada atau banyun cokor
  2. Dengan cara membuat (ngareka) yang dilakukan dengan mengucapkan puja-mantra tertentu, oleh beliau yang memiliki wewenang untuk itu. Tirtha yang diperoleh dengan cara ini antara lain adalah: tirtha panglukatan, tirtha prayascita, tirtha durmanggala dan sebagainya, dan juga tirtha-tirtha untuk pamuput upacara yadnya, seperti tirtha pangentas, tirtha panembak dan sebagainya.
Adapun tirtha yang digunakan setelah selesai sembahyang adalah tirtha wangsuh pada Ida Bhatara. Tirtha ini dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka. Hal ini dimaksudkan agar pikiran dan hati orang menjadi bersih dan suci, yaitu bebas dari segala kekotoran, noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Kebersihan dan kesucian hati adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir bathin.
Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau Bija
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
 
Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daivi-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan.
 
Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "bhas" dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera.
Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar